Megatrust.co.id, – Menjadi muslim berbeda dengan menjadi orang Arab, maka islamisasi jelas-jelas berbeda dengan arabisasi. Islam itu bukan ajaran Arab, walaupun Al-Qur’an berbahasa Arab dan Nabi Muhammad dari kaum Arab. Islam itu jalan hidup, prinsip hidup, bukan dan keyakinan orang Arab pada awalnya.
Salah satu fakta, awal turunnya ajaran Islam justru ditentang oleh kaum Arab di masa itu sendiri, karena islam datang mengubah tradisi, keyakinan, kebiasaan jahiliyah orang-orang Arab. Islam datang kepada kaum Arab membawa tatanan yang baru sama sekali, baik dalam hal tradisi, kebiasaan, akhlak, hukum, dan juga cara hidup.
Perlu dicatat, karena Al-Qur’an dan Nabi Muhammad berbahasa Arab, maka bahasa Arab juga tidak bisa dipisahkan dari agama islam, karena kitab sucinya berbahasa Arab. Juga sebuah kewajaran bahwa agama islam awalnya disebarkan oleh orang Arab karena memang agama Allah yang pamungkas ini berasal dari sana.
Mengenai tokoh-tokoh besar agama islam ini adalah orang Arab itu pun wajar saja, karena merekalah kaum awal yang beragama Islam. Jadi bisa dikatakan, Arab belum tentu Islam dan Islam tidak harus Arab. Namun jelas Islam itu pasti berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Juga salah besar, bila dikatakan bahwa islamisasi sama dengan arabisasi. Lantas menolak islamisasi dengan dalih “Ini Indonesia, bukan Arab”. Apa bedanya?
Jelas beda sekali, menjadi Arab atau bukan Arab itu adalah takdir, sedangkan mengambil Islam atau mengabaikannya, itu adalah sebuah pilihan.
Islam itu ya Islam tidak perlu ada pandangan. Disana Islam Arab, disini Islam Nusantara, ini pandangan yang mungkin niatnya baik tetapi justru berpotensi memecah belah islam dan sebaiknya pandangan itu dihindari. Islam berpanduan pada Kitabullah, Sunnah, Khulafaur Rasyidin dan juga Tabiin, Tabiut Tabiin, Ulama Salaf, apapun Madzhabnya.
Adapun menjadi Muslim, tidak berarti meninggalkan budaya lokal. Bila bertentangan dengan islam tinggalkan saja dan bila tidak silahkan dilanjutkan. Apa standar meninggalkan dan melanjutkan budaya setelah jadi muslim? Ya tentu Aqidah, bila bertentangan dengan Aqidah, maka mutlak harus ditinggalkan. Misalnya seperti budaya membuka aurat, menyembah pohon, maka harus tinggalkan. Berbeda dengan arsitektur, aneka makanan halal, ya boleh dilanjutkan.
Saat Islam masuk ke Cina, arsitektur masjid yang dibangun mirip pagoda, masyarakat sembahyang tentu boleh saja. Tetapi jika sembahyang dengan leluhur kepada hio, ya ditinggalkan, itu contohnya. Kemudian saat islam masuk ke Indonesia, maka batik tetap lestari, bahkan menyerap nilai Islam dan itu boleh saja. Akan tetapi menyembah batu dan patung itu harus dihapuskan.
Dalam ajaran Islam mudah, selama tidak dilarang syariat, amalkan saja. Namun bila sudah ada larangan syariat, maka Islam yang harus diutamakan. Maka di dalam Islam, semua produk (fisik atau non-fisik) selain Aqidah, boleh saja diadopsi termasuk teknologi juga karena termasuk produk non-aqidah. Tinggal kita mencukupkan diri pada Kitabullah dan Sunnah, itu yang terbaik.
Kesimpulannya terus kaji ajaran Islam, jangan berhenti, taati Allah dan Rasulullah semata, karena kita akan kembali kepada-Nya. Adapun kesimpulan lain, jadi muslim gak harus pakai sorban, gak harus berjubah, yang jelas pikiranmu, lisanmu, amalanmu harus ber-asas Islam. Jangan sampai terbalik, seseorang pakai sorban, pakai sarung, mengenakan peci, jubah,
tetapi pola pikir dan referensi liberal, jauh dari Kitabullah dan Sunnah Rasulullah.
Justru lebih bagus memakai batik, kemeja, kaos, celana, lalu setiap kamu mikir, lisan, amal, semua berdalil Kitabullah dan Sunnah. Lebih bagus lagi, kamu memakai peci, memakai sarung, mengenakan sorban, berjubah dan semua pikiran, lisan, amalmu, azasnya Kitabullah dan Sunnah, itu jadi di dalam Agama Islam. Dalam islam tentu Aqidah dan Akhlak-lah yang harus diutamakan. (Rest/Red)
Wallahu a’lam bishawab.