MEGATRUST.CO.ID, – Dalam perkara pidana, dikenal suatu sistem yang terbilang relatif baru di Indonesia, yaitu suatu metode atau cara penyelesaian perkara dengan mencari keadilan restoratif, atau yang biasa dikenal dengan istilah Restorative Justice.
Berbeda dengan Retributive Justice, yang mana lebih menekankan kepada pembalasan, sesuai dengan namanya. Konsep Restorative Justice ini menekankan kepada pemulihan kondisi semula baik bagi korban maupun pelaku di tengah masyarakat.
Dilansir dari laman kejaksaan.go.id, definisi Restorative Justice yaitu penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait. Bertujuan untuk sama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan.
Penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restorative dilaksanakan dengan asas keadilan, kepentingan umum, proporsionalitas, pidana sebagai jalan terakhir, cepat, sederhana dan biaya ringan .
Adapun kebijakan Restorative Justice, Melalui Peraturan Jaksa Agung (Perja) Nomor 15 Tahun 2020 yang diundangkan pada tanggal 22 Juli 2021 diharapkan mampu menyelesaikan perkara tindak pidana ringan (Tipiring) selesai tanpa ke meja hijau.
Sejak dikeluarkannya Perja itu, sudah 300 perkara telah dihentikan Jaksa diseluruh tanah air, Dikeluarkannya Perja ini untuk merestorasi kondisi ke semula sebelum terjadi “kerusakan” yang ditimbulkan oleh perilaku seseorang (tersangka).
Adapun syarat-syarat bagi orang yang “berhak” menerima Restorative Justice adalah :
- Tindak Pidana yang baru pertama kali dilakukan (berarti dalam hal ini tidak berlaku bagi residivis/mengulangi kejahatan setelah vonis)
- Kerugian di bawah Rp 2,5 juta
-
Adanya kesepakatan antara pelaku dan korban
Perja ini juga bermaksud untuk meminimalisir penuhnya Lapas (over capacity) yang menjadi momok bagi Lapas di Indonesia. Selain itu, muatan Perja ini juga untuk meminimalisir penyimpangan kekuasaan penuntutan serta memulihkan kondisi sosial secara langsung di masyarakat.
Hal ini juga menjadi salah satu kebijakan dalam menjawab keresahan publik tentang hukum tajam ke bawah, namun tumpul ke atas yang selama ini seolah menjadi kelaziman. (Towil/Amul)