Megatrust.co.id, CILEGON – Data Stunting yang dimiliki Pemerintah Kota atau Pemkot Cilegon berbeda dengan data Stunting yang dimiliki Pemerintah Pusat, kok bisa? Simak penjelasan Sanuji Pentamarta.
Wakil Wali Kota Cilegon yang juga Ketua Tim Percepatan Penurunan Stunting (TPPS) Sanuji Pentamarta mengungkapkan, angka Stunting yang dimiliki oleh Pemkot Cilegon itu berbeda dengan angka Stunting yang dimiliki oleh pemerintah pusat.
Sanuji merinci, di Kota Cilegon Balita penderita stunting mencapai 1.144 orang atau 3,4 persen. Ia mengklaim, data tersebut menurun dalam dua tahun terakhir.
Sanuji menyebut, pada 2021, angka stunting di Kota Cilegon mencapai 9 persen, lalu di tahun 2022 kembali menurun menjadi 5,40 persen.
Data tersebut berasal dari EPP-GBM (Elektronik Pencatatan dan Pelaporan Gizi Berbasis Masyarakat), yang diungkapkan Wakil Wali Kota Cilegon Sanuji Pentamarta, saat berbincang bersama wartawan.
Menurut Sanuji, data tersebut berbeda dengan data pemerintah pusat yang mengacu pada Studi Status Gizi Indonesia (SSGI). Perbedaannya, dijelaskan Sanuji, data SSGI dilakukan dengan cara survei.
Sementara data EPP-GBM dilakukan dengan cara penimbangan, pengukuran, dan pendataan langsung kepada masyarakat melalui kader, puskesmas, dan pihak kelurahan.
“Kata pusat (stunting di Cilegon-Red) 19 persen versi SSGI, tapi enggak ada by name by address-nya. Kita di Cilegon melalui posyandu, kader, melalui penimbangan dan pengukuran yang ditemukan 1.144 yang stunting atau 3,4 persen,” ucap Sanuji Pentamarta, Wakil Wali Kota Cilegon.
Sanuji Pentamarta menjelaskan, kemungkinan terdapat beberapa indikator yang menyatakan perbedaan hasil penghitungan angka stunting dari versi EPP-GBM dan SSGI.
Pertama, tidak hadirnya masyarakat yang di puskesmas saat pendataan. Kedua, soal keterbatasan alat antropometri untuk mengukur tinggi badan, berat badan, berat lengan, dan lingkar kepala.
Pasalnya, Wakil Wali Kota Cilegon sekaligus Ketua TPPS menyebut, dari 389 posyandu di Kota Cilegon, terdapat 77 posyandu yang memiliki alat tersebut.
“Kita bandingkan dengan keluarga yang berpotensi stunting itu angkanya segitu, 19 persen (34 ribu-Red),” jelasnya.
Masih kata Sanuji, upaya Pemkot Cilegon dalam mengentaskan angka Stunting di Kota Cilegon, pihaknya akan melakukan 2 upaya yakni upaya spesifik dan upaya sensitif.
Diantaranya, pemberian asupan gizi bagi penderita stunting serta perbaikan kesehjateraan masyarakat melalui berbagai faktor baik di lingkungan, sanitasi, air bersih, dan penunjang lainnya.
Selain itu, kata dia faktor ekonomi yang mempengaruhi stunting. Tidak hanya itu, Sanuji juga menyebut, faktor pola asuh keluarga juga turut berimbas terhadap hal ini.
Dalam beberapa kasus, Politisi PKS menemukan ada keluarga dari golongan mampu yang anaknya menderita stunting. Hal ini diakibatkan, kurangnya pengawasan seorang ibu terhadap kebutuhan gizi anaknya.
Oleh karena itu, ia menekankan, pentingnya edukasi terhadap pasangan yang akan menikah serta pentingnya pemberian ASI dan gizi bagi ibu hamil.
“Ternyata saya menemukan bukan hanya keluarga tak mampu, pola asuh bermasalah juga ini yang agak berat yang mempengaruhi. Keluarga-keluarga stunting sebagian besar dari mereka orang punya juga, jadi faktornya kemungkinan bisa 60 persen karena ekonomi dan 40 persen karena pola asuh,” bebernya. (Amul/Red)














